Blogger Template

Latest Post

THE SPIRIT OF TAHAJUD


JIKA kita melihat ke belakang sejarah awal perkembangan dakwah Islam kita bisa memahami dan mengambil ibrah, ‘ubur (pelajaran, jem¬bat¬an menuju sukses), sesungguhnya doa yang pertama kali dipan¬jatkan oleh Rasulullah saw. adalah memohon dikaruniai sumber daya manusia yang berkualitas. SDM tidak identik dengan kependekan dari “Selamatkan Diri Masing-Masing”, seperti yang dipahami komunitas hedonis.
اَللَّهُمَّ أَعِزِّ الاِسْلاَمَ بِأَحَبَّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ عُمَرُ ا بْنِ الْخَطاَّبِ وَ عَمْرُو ابْنِ هِشاَمٍ.
“Ya Allah, jayakanlah Islam ini dengan masuk islamnya salah satu dari dua orang yang disegani kaumnya, Umar ibn Khaththab dan Amr bin Hisyam.” (Al-Hadits)
Beliau mengadakan istighotsah (meminta bantuan langsung ke¬pada Allah swt.) pada malam Jum’at, bermunajat semalam suntuk sampai shubuh guna menyongsong perang Badar pada keesokan harinya. Pa¬dahal umat Islam angkatan pertama ini belum memiliki pengalaman yang memadai tentang dunia militer secara formal (jihad kifai).
Secara lahiriyah, Rasulullah saw. hampir tidak yakin dengan kualitas personil 313 sahabat terdiri dari kalangan masyarakat grass root. Apalagi tidak memiliki persiapan yang memadai untuk berperang. Secara kuan¬titas kaum muslimin tidak sebanding dengan jumlah personil dan ke¬lengkapan persenjataan kaum kafir.
Rasulullah berucap: Ya Allah, jika kelompok ini binasa, maka Eng¬kau tidak akan disembah lagi di muka bumi. Kemudian beliau berbisik kepada Allah swt.: Ya Allah, laksanakanlah apa yang telah Engkau jan¬jikan kepadaku. Ya Allah, kami mohon pertolongan-Mu, Beliau meng¬angkat kedua tangannya ke langit hingga selendangnya terjatuh dari kedua pundaknya. Abu Bakar berusaha menghibur dan menya¬takan em¬patinya, karena beliau banyak memohon kepada-Nya (Shahih Muslim, Kitabul Jihad was-Sair (Bagian Jihad dan Ekspedisi) bab al-Imad bil Malaikah fi Ghazwati Badr (sub: Pertolongan Malaikat pada Perang Badar) nomor 1763.
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: ‘Sesungguhnya Aku akan men¬da¬tang¬kan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfal [8]: 9)
Tetapi jumlah pasukan yang hanya ¼ dari musuh, melahirkan ke¬menangan yang gemilang. Karena massa kaum muslimin bisa dikelola untuk bersama-sama menomorsatukan kehendak Allah swt., lewat me¬lakukan puasa Ramadhan. Puasa adalah junnah (perisai, tameng) kata Nabi saw.. Pada malam hari mereka bagaikan pendeta dan pada siang hari mereka laksana singa di padang pasir (ruhbanun fillail wa fursanun fin nahari).
“Sungguh Allah Telah menolong kamu dalam peperangan Badar, pa¬da¬hal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah (jumlah per¬sonil sedikit, perlengkapan perang tidak cukup). Karena itu bertak¬walah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 123)
Para Nabi dahulu sekalipun usianya sudah se-abad dan isterinya dalam keadaan mandul, tidak pernah putus asa berdoa agar dikaruniai generasi pelanjut perjuangannya (mawali).
“Ia Berkata ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan ke¬palaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Sesungguhnya aku khawatir ter¬hadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang pu¬tera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam [19]: 4 - 6)
Demikian pentingnya sumber daya manusia unggul, maka siapa yang memiliki cadangan sumber daya insani yang berkualitas, niscaya berkembang pula berbagai aspek kehidupan yang lain. Sebaliknya, sekalipun kaya sumber daya alam dan berbagai sarana material lainnya, tetapi miskin SDM` bermutu, bagaikan membuat lubang kehan¬curan¬nya secara gradual. Semua karunia-Nya tidak bisa disyukuri, sehingga mengantarkannya pada kehancuran (istidraj, di ulu-ulu. Bhs Jawa).
Sekarang ini secara kuantitas, kaum muslimin di dunia jauh lebih unggul dari umat lain (1,5 Milyar). Tetapi, jumlah mayoritas terbukti tidak berdaya menghadapi konspirasi jahat dari musuh-musuhnya. Kehadiran kaum muslimin tidak menggenapkan dan absennya tidak mengganjilkan (wujuduhum ka-adamihim). Jumlah mayoritas yang tidak unggul dalam moral dan intelektual serta pisik (basthotan fil ilmi wal jism), berada di pinggir dalam memberikan kontribusi pembangunan peradaban dunia. 
Dalam sejarah terbukti, dengan asset sumber daya manusia yang mukhlis (ikhlas), muslim (patuh kepada Allah dan Rasul-Nya), mukmin (yang membenarkan-Nya), muhsin (yang selalu berbuat baik sekalipun kepada orang yang berbuat jelek kepadanya), mujahid (selalu berjuang di jalan-Nya), muwahhid (tidak selingkuh dengan-Nya), dan shabir (teguh di jalan kebenaran), istiqomah (konsisten), muqarrabin (orang yang dekat dengan Allah), yang memiliki persyaratan untuk memperoleh pertolongan-Nya.
“Jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti .” (QS. Al-Anfal [8]: 65)
“Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka se¬sungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik" (QS. Yusuf [12]: 90)
“Bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum [30]: 60)
Tidakkah kita mengambil pelajaran dari perang Hunain. Sekalipun kaum muslimin memiliki massa yang besar, tetapi ada oknum muallaf yang menghendaki dunia sekalipun mayoritas menghendaki akhirat, terbukti tidak memberikan manfaat. Karena, menurut pandangan Allah swt., orientasi, motivasi kaum muslimin berbeda. Indikator tidak adanya kerapian shaff (barisan) jamaah.
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (QS. At-Taubah [9]: 25)
Demikian pula kekalahan yang menimpa kaum muslimin pada perang Uhud, karena dalam barisan mereka ada yang menghendaki dunia dan ada yang menghendaki akhirat.
“Sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa'at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah me¬ma¬lingkan kamu dari mereka [*] untuk menguji kamu, dan Sesunguhnya Allah telah mema'afkan kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.(QS. Ali Imran (3): 152)
Menurut pandangan Allah swt. terdapat perbedaan yang men¬da¬sar antara sumber daya insani yang steril dari kontaminasi dosa, dengan sumber daya manusia yang berlumuran maksiat.
“Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.’” (QS. Al-Maidah [5]: 100)
Sebaliknya, jumlah sedikit yang memiliki iltizam (keterikatan yang kuat dengan perjuangan), berhak memperoleh pertolongan-Nya.
“Ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfal [8]: 26)
Al-Junudul Muthi’ah (prajurit-prajurit yang taat), zuhud, wara’ (mem¬ba¬tasi konsumsi yang halal), yang meminum air hanya seteguk (sekedar menghilangkan dahaga), sekalipun sedikit bisa mengalahkan jumlah ma¬yoritas.
Umar ibn Khaththab berdoa, Ya Allah jadikanlah aku termasuk ke¬lompok kecil.
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: ‘Sesung¬guhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. dan barang¬siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku.’ Kemudian mereka meminumnya kecuali be¬berapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: ‘Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.’ orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 249)
Sumber daya insani yang memiliki kekuatan pisik dan ilmu yang luas yang akan mempunyai kesiapan untuk memimpin.
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?’ Nabi (mereka) berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 247)
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (QS. Al-Araf [7]: 10)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jangan¬lah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit¬lah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-Araf [7]: 3)
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tung¬ku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (QS. Saba’ [34]: 13)
Seorang ‘alim pada masa sebelum kita yang bernama Barshisha, bisa mengalahkan setan ketika hatinya bersih dari kontaminasi dunia. Tetapi ketika niatnya berubah dari idealisme awal dan beralih pada kenik¬matan materi (mata’), maka setan dengan mudah menundukkannya.

FIKIH WANITA tentang hal-hal yang dilarang (Pustaka Rizki Putra)


Judul: 

Fikih Wanita

Wanita dalam kaca mata Islam memiliki kedudukan yang tinggi. Kemuliaan wanita dengan kedudukan tinggi ini begitu di-jaga oleh Islam. Allah dan Rasul-Nya senantiasa memberikan we-jangan kepada kaum muslimin untuk selalu memperlakukan wa-nita dengan sebaik-baiknya. Islam tidak pernah membiarkan ke-hormatan wanita dirusak oleh apapun atau siapapun, bahkan ke-tika yang melakukannya adalah wanita itu sendiri. 

Firman Allah, “Dan janganlah engkau mendekati zina. Sesung-guhnya zina itu perbuatan yang buruk, tercela dan jalan yang sesat,” yang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan, adalah bukti bah-wa Allah menjaga kehormatan kedua jenis kelamin. Sebab, zina adalah sarana perusakan kehormatan keduanya. 
Dalam konteks yang lain, Rasulullah saw. pernah mewasiat-kan agar kaum muslimin senantiasa memperlakukan kaum wani-ta dengan sebaik-baiknya. Bahkan untuk mengajak kaum wanita kepada kebaikan, Rasulullah memberikan acuan psikologis bah-wa wanita itu laksana tulang rusuk yang bengkok, yang tidak mudah diluruskan. Oleh sebab itu, kesabaran dan ketekunan kaum pria sangat diharapkan dan dibutuhkan. Bukan dengan tin-dakan kekerasan sebagaimana yang sering terjadi dalam rumah tangga. 
Namun tidak lantas hadis ini dipahami sebagai justifikasi bahwa wanitalah yang perlu diluruskan dan bukannya pria. Se-baliknya, kedua jenis kelamin perlu saling mengingatkan dan me-luruskan satu sama lain. 
Buku ini menuturkan banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berkenaan dengan rambu-rambu agama yang berkaitan de-ngan fikih wanita. Sang penulis sengaja menyampaikan ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut secara ensiklopedis dengan maksud agar para wanita dapat langsung merujuk kepada sumber asli ajaran agama. Dengan lebih banyak dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis yang dipaparkan, seorang muslimah diharapkan dapat lebih menghayati pesan-pesan agama dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Dan sebagaimana Allah menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan, buku ini layak dibaca siapa saja, baik laki-laki mau-pun perempuan, yang ingin memahami wejangan-wejangan dan nasihat-nasihat Allah dan Rasul-Nya. Semoga buku ini dapat menjadi kontribusi bagi terciptanya Indonesia yang baldatun thay-yibatun wa Rabbun ghafur, sebuah negeri yang baik dan senantiasa dalam ampunan dan kasih sayang Allah swt.
Selamat membaca!